UJUNGHARAPAN SEBAGAI TITIK EPISENTRUM
Desa Ujungharapan, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat, merupakan perkampungan seluas 618 hektar. Pada awal abad ke-20, perkampungan ini masuk dalam wilayah Order District Babelan, Distrik Bekasi, Regentschap (Kabupaten) Meester Cornelis, Residensi Batavia. Desa ini terletak dipesisir utara pulau Jawa bagian barat, membujur antara 1060 48′ 79 LU dan 070 77’29 BT dengan cuaca yang cenderung panas dan kering.
Secara geografis, Desa Bahagia berbatasan langsung dengan Desa Kebalen di sebelah timur, Desa Kaliabang Tengah di sebelah barat, Desa Teluk Pucung di sebelah selatan, dan Desa Babelan Kota di sebelah utara. Jarak desa ini dengan pusat administrasi Kecamatan Babelan sekitar 3 km, sedangkan jarak ke pusat administrasi Kabupaten Bekasi sekitar 49 km. Hal ini mengingat pusat administrasi Kabupaten Bekasi dipindahkan ke Cikarang Pusat, semenjak Bekasi secara resmi dibagi dalam dua wilayah, Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi.
Hasil laporan kegiatan yang dilakukan oleh Departemen Agama melalui Kegiatan Pembibitan Calon Muda Angkatan-VI Tingkat Nasional pada tahun 1999 menyebutkan bahwa “penduduk desa ini yang termasuk kategori di bawah garis kemiskinan hampir mencapai 0%, sedangkan selebihnya adalah masyarakat kategori Keluarga Sejahtera 1 ke atas.” Meskipun demikian, penelitian tersebut agaknya tidak memperhitungkan matapencaharian penduduk desa, yang pada saat penelitian tersebut dilangsungkan sebagian besar masih berprofesi sebagai petani penggarap, dengan lahan yang masih cukup luas. Pada saat ini, hampir 48% tanah pertanian di desa ini telah berubah fungsi, baik itu dilakukan oleh pemiliknya atau dijadikan perumahan oleh para pengembang yang membeli tanah di desa ini.
Sebagaimana desa-desa lainnya di Pulau Jawa, Desa Ujungharapan masih memiliki kultur pedesaan yang kuat, hal ini ditandai dengan adanya sikap gotongroyong masyarakat – biasanya sikap ini dapat dilihat dengan jelas manakala ada tetangga atau kerabat yang akan melakukan kegiatan walimahan atau pernikahan. Hal ini pula yang dilihat oleh tim peneliti dari Departemen Agama RI pada tahun 1999, terlebih dalam laporan tersebut juga dikatakan bahwa: “….kekeluargaan dan kegotong royongan masih sangat kental di tengah-tengah masyarakat. Tidak seperti halnya dengan tempat-tempat lain di Jakarta dan sekitarnya yang terkesan bahwa sifat kegotongroyongan tersebut sudah mulai luntur….”
Secara sederhana, masyarakat desa dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang agamis, mengingat hampir di setiap sudut desa terdapat sebuah musala sebagai sarana ibadah. Salah satu hal menarik di desa ini adalah, masyarakat tidak tahu secara pasti mengenai RT/RW tempat mereka tinggal, mereka lebih mengingat nama musala ketimbang RT/RW apalagi kode pos. Hal ini tentunya tidak mengherankan, mengingat ketika KH. Noer Alie mulai membangun desa ini, Beliau lebih memilih untuk menggunakan musala sebagai titik tempat tinggal masyarakat, dan untuk itulah dibuat suatu institusi khusus yang mengatur keberadaan musala yang ada di desa Ujungharapan.
Terdapat tidak kurang dari 31 musala yang tersebar di desa ini, dan semuanya menginduk pada Dewan Masjid Attaqwa (DMA), yang juga merupakan satu-satunya masjid yang dipergunakan untuk ṣalat jumat di desa ini. Pada awalnya, terdapat dua masjid di tempat ini, yakni Masjid Attaqwa dan Masjid An Nur, namun setelah diadakan pertemuan antara tokoh masyarakat, maka diputuskan bahwa Masjid Attaqwa lah yang dipergunakan sebagai tempat shalat jumat, maka statusnya pun berganti menjadi Masjid Jami Attaqwa, sedangkan Masjid An Nur berganti status menjadi Masjid Ghairu Jami An Nur. Masih ada satu masjid lagi yang berdiri di desa ini, yakni masjid yang berada di komplek Pondok Pesantren Attaqwa Putri, namun statusnya sebagai Masjid Ghairu Jami, sehingga masjid ini dinamakan Masjid GhairuJami Albaqiyatussalihat.
Masjid dan musala merupakan titik episentrum kehidupan masyarakat di desa ini, setiap pendirian satu lokasi tempat tinggal baru, dapat dipastikan akan didirikan musala sebagai sarana ibadah. Pendirian musala acapkali akan diiringi dengan pendirian majelis taklim, apakah itu majelis taklim kaum bapak ataupun majelis taklim kaum ibu.
Pengajian kaum bapak tidak terikat pada suatu organisasi khusus, berbeda dengan kaum ibu. Majelis taklim kaum ibu terikat pada struktur organisasi yang bernama Majelis Taklim Attaqwa Pusat (MTAP) yang bernaung di bawah Yayasan Attaqwa, di mana struktur anggotanya mengikuti jumlah musala yang ada di lingkungan Dewan Masjid Attaqwa. Beberapa musala di desa ini juga memiliki lembaga pendidikan Islam yang bernaung di bawah Perguruan Attaqwa, sehingga di desa ini terdapat lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Tinggi.
Jika menilik dari sisi historis, wilayah Ujungharapan adalah wilayah transit bagi para pedagang dari daerah Muara atau Wates yang ingin ke Bekasi atau Jakarta, demikian pula sebaliknya. Desa ini juga dahulu sebagai tempat tinggal para pedagang yang datang untuk berdagang sejak masa kolonial Belanda. Pada saat ini, desa Ujungharapan menjadi lokasi pembangunan besar-besaran berbagai perumahan bagi para pekerja yang bekerja di Jakarta, bahkan bagi para penduduk asli yang ingin memiliki rumah tambahan. Dengan memanfaatkan sisa lahan pertanian yang masih tersisa, para pengembang mulai mengeksplorasi desa ini menjadi pusat pemukiman penduduk. Adanya pengembangan desa tentunya membawa suatu konsekuensi logis, yakni semakin heterogennya masyarakat.
Keberadaan desa ini menjadi begitu penting ketika melihat perjuangan merebut kemerdekaan, karena di desa inilah terdapat markas tentara rakyat Hizbullah, yang menjadi pejuang di daerah Bekasi hingga daerah Karawang, terlebih dengan diresmikannya KH. Noer Alie sebagai pahlawan nasional pada masa pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2006. Desa ini telah demikian berubah, sejak tahun 1940, dimulai dengan berdirinya suatu istitusi pendidikan Islam tradisional, ditandai dengan lahirnya Komite Pembangunan, Pemeliharaan, dan Pertolongan Islam, yang kemudian berubah menjadi Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan, dan Pertolongan Islam atau biasa disebut Yayasan P3, hingga berubah menjadi Yayasan Attaqwa, dan melalui Yayasan Attaqwa, Ujungharapan berada di garda terdepan dalam perjuangan dan pendidikan agama Islam di masyarakat luas.
PEMBANGUNAN AWAL: KOMITE P3
Adalah penting untuk mengingat, bahwa lahirnya Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan dan Pertolongan Islam (YP3), tidak dapat dilepaskan dari keinginan Almaghfurlah KH. Noer Alie yang pada tahun 1940 kembali dari belajar di Makkah al Mukarramah berinisiatif mendirikan pesantren tradisional dan berlokasi didesanya, atau lebih tepatnya di dekat rumahnya (sekarang menjadi Pondok Pesantren Attaqwa Putri). Ketika itu proses belajar mengajar hanya berupa pengajian biasa, yakni bagaimana mengajarkan cara membaca Al Quran yang baik dan benar kepada para penduduk.
Persoalannya adalah, untuk mewujudkan apa yang diinginkan tidaklah semudah yang dibayangkan. Pada saat itu Indonesia tengah dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Kebangkitan rakyat dan perkembangan dunia modern setelah melalui perjuangan yang berat dalam sejarah kemerdekaan, terjadilah krisis multidimensi yang melanda kehidupan bangsa, baik secara budaya, sosial maupun pendidikan.
Penjajahan telah meninggalkan pengaruh yang sangat buruk dan derita yang berkepanjangan bagi bangsa Indonesia. Telah terjadi perusakan rumah, masjid dan pondok pesantren yang menjadi markas bagi para tentara pejuang dan warga sipil. Markas tersebut juga menjadi tempat bernaung bagi banyak anak yatim, janda dan fakir miskin yang sangat memerlukan pertolongan untuk mengentaskan mereka dari penderitaan yang sangat menyakitkan itu.
Dengan latar belakang tersebut di atas, didasari dengan rasa tanggungjawab moral di hadapan Allah SWT serta dengan semangat memperjuangkan masa depan bangsa, maka dibentuklah sebuah komite dengan nama “Komite Pembangunan, Pemeliharaan dan Pertolongan Islam” pada bulan Februari 1950. Gagasan utama Komite adalah mewujudkan cita-cita Almaghfurlah untuk membentuk masyarakat yang islami dan berpendidikan. Adapun susunan komite adalah sebagai berikut:
1. KH. Noer Ali (Ketua Komite)
2. KH. Maksum (Wakil Ketua)
3. Saulin Arif (Sekretaris)
4. Abdus Somad Mardani (Wakil Sekretaris)
5. H. Mahmud Maan (Bendahara)
6. H. Mahbub Maan (Wakil Bendahara)
7. H. Marzuqi Anwar (Anggota)
8. H. Muhyidin Anwar (Anggota)
9. Ya’qub Abdul Ghani (Anggota)
10. H. Muhammad Hasan (Anggota)
11. Muhammad Romli Gudang (Anggota)
12. Ahmad Jailani Asy’ari (Anggota)
13. Muhammad Zainudin (Anggota)
14. H. Muhammad Arsyad Banjar (Anggota)
15. H. Muhammad Thoyib (Penasihat)
16. KH. Abdul Mughni (Penasihat)
Tantangan pertama yang dihadapi oleh komite adalah bagaimana caranya mengajak partisipasi masyarakat luas, dan tantangan tersebut dijawab oleh komite dengan terjun langsung mengajak kepada seluruh warga desa dan warga desa sekitar untuk berperan aktif mendukung komite ini. Komite telah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan dana untuk menjamin keberlangsungan kegiatan dan eksistensi komite. Dana tersebut dikumpulkan dari zakat, infak, dan sumbangan dari para donatur maupun pemerintahan daerah.
Setelah terkumpul wakaf, zakat, infak, dan sumbangan, maka langkah berikutnya adalah menjalankan langkah konkrit, antara lain:
- Mendirikan madrasah Islam swasta tingkat dasar/madrasah ibtidaiyah, dengan program belajar enam tahun. Kurikulum pendidikan umum diadopsi dari kurikulum pemerintah. Adapun kurikulum pendidikan agama disusun berdasarkan jenjang pendidikan.
- Memberikan sebidang tanah kepada para pejuang untuk dijadikan lahan cocok tanam, untuk memberi mereka masa depan yang cerah. Sebagian lahan tersebut didapatkan dari pemerintah. Atas pertolongan Allah SWT, usaha ini didukung oleh para santri/wali santri di mana sebagaian dari mereka dengan sukarela menyumbangkan sebagian tanahnya untuk misi mulia ini.
Pada tahun 1952, komite mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Beberapa sekolah tingkat dasar telah berdiri di beberapa desa. Tidak kurang terdapat enam madrasah yang berafiliasi kepada komite, meskipun pada perkembangannya mengalami pergantian nama. Pergantian juga terjadi pada tataran kurikulum dan sistem pendidikan. Hal tersebut dinilai wajar, karena pada saat itu, belum ada lembaga Islam yang mempunyai otoritas untuk menyeragamkan kurikulum dan sistem pendidikan. Pada saat yang bersamaan, beberapa organisasi Islam juga turut mendirikan madrasah. Sebut saja, Muhammadiyah, Al Wasliyah dan Mathla’ul Anwar. Maka semakin bertambah jumlah madarasah ibtidaiyah di Bekasi yang berafiliasi kepada Komite Pembangunan, Pemeliharaan dan Pertolongan Islam.
Pada tahun 1954 terjadi penurunan aktifitas komite, karena sebagian pengurusnya turut berperan aktif dalam partai Islam. Disamping itu, Ketua Komite juga mempunyai amanah sebagai Wakil Dewan Pembina Pemerintah Daerah Bekasi. Meski demikian, pada tahun 1954, komite berhasil mendirikan masjid yang diberi nama “Masjid Jami Attaqwa” yang menjadi masjid besar pertama yang berdiri di desa Ujungharapan, masjid tersebut menjadi pusat aktifitas Islami masyarakat Ujungharapan hingga saat ini.
Komite juga turut berperan aktif mendukung dalam mensukseskan program kerja pemerintah Republik Indonesia, khususnya yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat, seperti mempersiapkan lahan pertanian, maupun membangun dan menata jalan-jalan umum. Dengan demikian, keberadaan dan aktifitas komite dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas.
PENDIRIAN YAYASAN P3
Setelah keberadaan dan aktifitas Komite Pembangunan, Pemeliharaan dan Pertolongan Islam berlangsung beberapa tahun, muncul sebuah pemikiran untuk meningkatkan gerak komite dalam sebuah lembaga yang terorganisir dan mempunyai landasan hukum. Setelah melalui rapat dengar pendapat, dan dengan mempertimbangkan kepentingan masa depan umat Islam, komite telah meleburkan diri menjadi yayasan dan telah terdaftar pada Kantor Notaris Eliza Pondang, SH di Jakarta, dan ditahbiskan dengan keluarnya Akta Yayasan Nomor 11 tanggal 6 Agustus 1956 tentang Terbentuknya Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan dan Pertolongan Islam yang berkedudukan di Ujungharapan, Bekasi.
Untuk menunjang keberlangsungan kegiatan, maka dibentuklah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan, dan Pertolongan Islam, yang secara ringkas berisikan poin-poin sebagai berikut:
- Nama yayasan adalah Yayasan Pembangunan Pemeliharaan dan Pertolongan Islam, berkedudukan di Desa Ujungharapan, Bahagia, Bekasi. Bilamana dipandang perlu, maka diperbolehkan pembentukan kepengurusan Yayasan di desa-desa lainnya.
- Tujuan pendirian Yayasan adalah untuk memperluas lingkup kegiatan usaha di berbagai bidang dalam rangka meningkatkan kapasitas dan taraf hidup umat Islam, khususnya di bidang pendidikan dan dakwah. Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud, maka dibentuklah program kerja sebagai berikut:
- Membangun masjid dan musala di seluruh desa yang kegiatannya berafiliasi kepada Yayasan.
- Mendirikan kota pelajar/santri dan panti asuhan untuk anak yatim serta rumah penampungan untuk fakir miskin.
- Memelihara dan mengelola lahan pertanian milik Yayasan dan membangun lahan pemakaman umum untuk umat Islam.
- Memberikan santunan dan bantuan kepada fakir miskin dan pihak-pihak yang membutuhkan.
- Untuk lebih mengoptimalkan program kerja yang telah dicanangkan, Yayasan menjalin hubungan kerjasama dengan organisasi-organisasi Islam yang mempunyai kedekatan ideologi dan tujuan.
- Adapun sumber pendanaan Yayasan adalah sebagai berikut:
- Sumbangan donatur, baik berupa infak, sedekah maupun hibah.
- Wakaf dan wasiat.
- Zakat.
- Sumbangan instansi pemerintah dan swasta.
- Semua harta benda milik Yayasan yang telah ditetapkan kepemilikannya secara hukum dianggap sebagai wakaf yang penggunaannya harus sesuai peraturan. Dalam hal ini Yayasan berkedudukan sebagai pengelola wakaf.
- Struktur Organisasi Yayasan. Setelah Yayasan berdiri, maka dianggap perlu untuk menetapkan struktur organisasi. Struktur tersebut sebagai berikut:
- Bidang Kemakmuran dan Pemeliharaan Umum.
- Bidang Pendidikan.
- Bidang Wakaf.
- Bidang Sosial.
- Bidang Kaderisasi, Konsultasi dan Bimbingan.
- Dewan Kemakmuran Masjid At Taqwa.
- Program Kerja.
- Bidang Kemakmuran dan Pemeliharaan Umum. Program kerja Bidang Kemakmuran dan Pemeliharaan Umum meliputi pembangunan gedung Yayasan, mengupayakan pemenuhan kebutuhan akan bangunan seperti gedung sekolah untuk setiap tingkatan pendidikan dan asrama untuk para santri, dan bertanggung jawab terhadap setiap proyek pembangunan dan pemeliharaan fisik Yayasan.
- Bidang Pendidikan. Program kerja Bidang Pendidikan meliputi fungsi pengawasan terhadap kegiatan sekolah dan pesantren yang bernaung di bawah Yayasan, merancang kurikulum dan perangkat pendidikan serta menjalankan program yang telah ditetapkan, menjalankan program peningkatan kapasitas keilmuan masyarakat, melaksanakan fungsi kontrol dan evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran di semua insititusi pendidikan Yayasan, baik pusat maupun cabang, dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ujian tahunan di seluruh jenjang pendidikan.
- Bidang Wakaf. Program kerja Bidang Wakaf meliputi kewenangan menerima sumbangan dari para donatur, baik yang berupa hibah, zakat dan sedekah, mengelola tanah wakaf baik berupa sawah, kebun maupun bentuk tanah wakaf lainnya, dan menggerakkan masyarakat untuk membeli tanah untuk cocok tanam secara kolektif.
- Bidang Sosial. Program kerja Bidang Sosial meliputi mencari peluang pengembangan ekonomi masyarakat melalui kegiatan perdagangan dan industri, mengingat bahwa umumnya masyarakat pedesaan adalah mereka yang tergolong dalam kelompok berpendapatan kecil karena hanya menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian, dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya mengelola lahan pertanian dengan cara modern demi meningkatkan taraf hidup dan pendapatan mereka.
- Bidang Kaderisasi, Penyuluhan dan Bimbingan. Yayasan mempunyai posisi yang penting dalam pembangunan masyarakat islami dengan mengedepankan bimbingan keagamaan. Untuk itu, sangat diperlukan adanya bidang khusus yang menjalankan fungsi penyuluhan, bimbingan dan fatwa. Hal ini mengingat masyarakat mempunyai keinginan yang kuat untuk mendapatkan informasi seputar permasalahan keagamaan yang mereka hadapi. Bidang yang sangat strategis ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih karena mempunyai hubungan langsung dengan kondisi riil masyarakat dengan segala permasalahannya di bidang ekonomi, budaya, akhlak dan pegaulan. Untuk itu, bidang ini akan ditempati oleh para alim ulama yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas dalam menyelesaikan permasalahan umat dengan sepenuhnya berlandaskan kepada Al Quran dan Sunnah dan didukung dengan penguasaan pada kitab turats.
- Dewan Kemakmuran Masjid Attaqwa. Pengetahuan agama yang minim dari masyarakat, termasuk tata cara beribadah dan pergaulan islami masih sangat sedikit. Untuk itu, Yayasan membentuk Dewan Kemakmuran Masjid yang akan bertanggung jawab dalam memberikan penyuluhan dan bimbingan masyarakat melalui pendirian majelis taklim mingguan di seluruh pelosok pedesaan, dan menjalankan fungsi pengurusan jenazah sesuai dengan tata cara Islami, serta bertanggung jawab melaksanakan kegiatan hari besar Islam dan kegiatan selama bulan suci Ramadhan.
TRANSFORMASI MENJADI YAYASAN ATTAQWA
Pasca kemerdekaan, pada tahun 1950, setelah keadaan berangsur pulih maka Almaghfurlah KH. Noer Alie, dibantu dengan beberapa orang muridnya mendirikan Madrasah Ibtidaiyah dan disusul dengan pendirian Pesantren Islam Bahagia yang setingkat dengan Madrasah Tsanawiyah. Pendirian lembaga pendidikan ini semakin diperkuat dengan keberadaan Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan, dan Pertolongan Islam (YP3I) pada 1956. Pada tahun 1962 didirikan Madrasah Menengah Attaqwa (MMA) yang merupakan perubahan sistem dari Pesantren Islam Bahagia, dengan lama pendidikan selama enam tahun, dan pada tahun 1964 didirikan pesantren putri yang menjadi cikal-bakal Pondok Pesantren Attaqwa Putri.
Sejak masa awal pendirian Yayasan P3, tercatat telah hadir sembilan belas cabang yayasan yang tersebar di berbagai wilayah di Bekasi dan sekitarnya. Di satu sisi, perkembangan ini tentu amat menggembirakan sebab setidaknya mimpi Almaghfurlah untuk mewujudkan masyarakat madani yang religius telah nampak. Namun di sisi lain, banyaknya cabang yayasan menyebabkan kesulitan dari sisi organisasi karena tidak adanya standardisasi pengelolaan antara yayasan pusat dengan yayasan cabang.
Di sisi yang berbeda, Almaghfurlah KH. Noer Alie juga menyadari pentingnya melakukan perubahan dalam yayasan dan regenerasi agar yayasan dapat dipimpin oleh generasi yang lebih muda. Atas dasar hal itulah pada tahun 1986, nama Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan dan Pertolongan Islam berubah nama menjadi Yayasan Attaqwa dan tertuang dalam Akte Notaris Nomor 16 tanggal 17 Desember 1986 dengan notaris Soedirja, SH.
Transformasi dari Yayasan P3 menjadi Yayasan Attaqwa secara formal terjadi pada tahun 1986. Setidaknya terdapat dua alasan yang mendasari transformasi itu. Pertama, perubahan itu lebih pada basis ideologis Yayasan, yakni adanya keinginan Almaghfurlah untuk menjadikan Islam sebagai landasan utama Yayasan. Hal ini ditandai dengan berubahnya Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang menjadikan Islam sebagai landasan utama dari Yayasan Attaqwa. Dalam hal ini, Yayasan Attaqwa menjadikan dirinya sebagai medium penyebaran gagasan keislaman di masyarakat.
Kedua, perubahan tersebut untuk kepentingan administrasi dan standardisasi, yakni didasarkan pada upaya penyeragaman nama sekolah yang berafiliasi dengan Yayasa P3. Hal ini penting dilakukan, sebab terlalu banyak sekolah yang memiliki nama yang berbeda, di tingkat dasar terdapat Madrasah Ibtidaiyah Al Huda, di tingkat menengah terdapat Madrasah Menengah Attaqwa dan Madrasah Albaqiyatussalihat. Dengan transformasi Yayasan P3 menjadi Yayasan Attaqwa, maka seluruh sekolah berubah nama menjadi Attaqwa.
Almaghfurlah KH. Noer Alie adalah sosok yang mengerti betul bagaimana tertib administrasi menjadi salah kunci keberhasilan Yayasan P3, dan untuk semakin memperkuat hal itu, maka standardisasi antara seluruh lembaga yang bernaung di bawah Yayasan P3 adalah hal yang tidak ditawar lagi. Standardisasi itu dimulai dengan penyeragaman nama, yang kemudian berlanjut pada standardisasi kualitas pendidikan dan kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan.
Meski perubahan nama dari Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan dan Pertolongan Islam sudah terjadi pada tahun 1986, namun serahterima jabatan dari Almaghfurlah KH. Noer Alie ke KH. Moh. Amin Noer baru terjadi pada hari sabtu 15 Jumadil Akhir 1407 H / 14 Februari 1987, dengan disaksikan oleh Bupati Bekasi H. Suko Martono dan Alhabib Syaikh bin Ali Al Jufri. Sejak perubahan nama yayasan inilah pengelolaan yayasan yang semula bersifat tradisional perlahan-lahan mengarah pada pengelolaan yang lebih modern. Pada tahun yang sama pengelolaan yayasan Attaqwa dilimpahkan dari KH. Noer Alie pada generasi penerusnya, di mana proses kaderisasi telah berlangsung dan masih berlangsung hingga saat ini. Dengan adanya serahterima jabatan dari KH. Noer Alie ke KH. Moh. Amin Noer, maka pengelolaan Yayasan Attaqwa menjadi lebih modern dan teratur. Hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya cabang yayasan, yang hingga tahun 2013 telah berdiri sebanyak lima puluh cabang, dan semakin banyak lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Perguruan Attaqwa.