PERGURUAN ATTAQWA

Mendorong hadirnya pendidikan yang aman, terbuka, inklusif, dan setara

Kegiatan

Perguruan Attaqwa dan Al Azhar Al Syarif Mesir Gelar Seminar Internasional Mendorong Moderasi Beragama

Bekasi – Perguruan Attaqwa bekerjasama dengan Organisasi Internasional Alumni Al Azhar Cabang Indonesia menyelenggarakan seminar internasional bertajuk Peran Civil Society Dalam Moderasi Beragama pada Rabu (22/6). Kegiatan ini adalah bagian dari Peresmian Pusat Studi Islam dan Bahasa Arab di hari yang sama, yang diresmikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, KH. Ma’ruf Amin.

Seminar internasional ini mengundang Prof. Dr. Hasan Sholah Al-Sagir, Dewan Ulama Senior Universitas Al Azhar, sebagai pembicara utama. Dalam pembicara juga Prof. Dr. Abdul Dayem Nushair – Sekretaris Jenderal OIAA Pusat sekaligus Penasihat Grand Syekh AlAzhar Bidang Pendidikan, Dr. H. Lukman Hakim Saifuddin – Menteri Agama RI 2014-2019, Dr. KH. Abdul Ghofur Maemun – Rais Syuriah PBNU, Dr. KH. Abid Marzuki – Ketua STAI Attaqwa Bekasi, dan Dr. KH. Abdul Jabbar Majid – Mudir Ma’had Aly Attaqwa KH. Noer Alie.

Dalam sambutannya, KH. Irfan Mas’ud selaku Pimpinan Perguruan Attaqwa menjelaskan bahwa telah sangat banyak alumni Attaqwa yang melanjutkan pendidikan di Universitas Al Azhar. Salah satu poin penting adalah kesamaan antara Attaqwa dengan Al Azhar, sisi lainnya adalah adanya kesetaraan ijazah antara Ijazah Perguruan Attaqwa dengan Universitas Al Azhar, sehingga lulusan Attaqwa dapat secara langsung mempergunakan ijazah yang dimiliki untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Al Azhar.

Prof. Hasan Soleh menjelaskan bahwa ayat Al Quran dan hadis menjelaskan bahwa manhaj dalam Islam adalah manhaj yang moderat. Moderasi dalam beragama mencakup seluruh praktik-praktik beragama. Bahwa dakwah dilakukan dengan hikmah, tanpa paksaan, dan memberikan argumentasi yang baik, sehingga dapat mendorong hadirnya dialog, bukan konfrontasi. Universitas Al Azhar, sebagai lembaga pendidikan tertua di dunia mengajarkan dan mengamalkan moderasi beragama berdasarkan Al Quran dan As Sunnah, bahwa Islam mengajarkan setiap ummatnya untuk bersikap moderat dalam segala hal, termasuk beragama.

Prof. Abdul Dayyem menjelaskan bagaimana upaya dan pemikiran Grand Syekh Al-Azhar Prof. Dr. Ahmed At-Thayyib mewujudkan persaudaraan dan perdamaian dunia, dengan menitikberatkan pada penanggulangan terorisme. Bahwa terorisme dalam dunia Islam adalah jebakan dari penjajah, target utamanya adalah negara-negara jajahan ini selalu terbelakang. Penanggulangan terorisme menjadi tugas bersama antara pemerintah dan masyarakat. Salah satu peran Grand Syekh Al Azhar dalam mendukung perdamaian dengan mendorong hadirnya literasi dan pemahaman keberagamaan yang moderat secara luas. Yang juga digarisbawahi adalah Piagam Persaudaraan Kemanusiaan yang digagasa oleh Grand Syekh Al Azhar dengan Paus Fransiskus. Hal ini menurutnya menggambarkan bagaimana Al Azhar mendorong hadirnya moderasi dan kerjasama antara pemeluk agama.

Dr. Lukman Hakim menjelaskan bagaimana hubungan antara agama dan negara. Lukman Hakim memberikan contoh bagaimana negara seperti Mesir menyatukan negara dan agama, sehingga peran sentral agama dan tokohnya menjadi sangat kuat. Di sisi lain, ada pula negara yang sekuler, yang memisahkan dengan tegas antara agama dan negara. Indonesia bukan negara yang secara tegas menyatukan, atau memisahkan antara agama dan negara. Menurutnya, negara dalam kaitannya dengan kehidupan keberagamaan, tidak boleh campur tangan, namun tidak pula lepas tangan. Indonesia adalah negara dengan nilai-nilai agama yang sangat kental, sebab agama sudah tertanam dalam kehidupan masyarakat. Lebih jauh, Lukman Hakim menjelaskan bagaimana pemerintah Indonesia melakukan moderasi beragama melalui berbagai regulasi, sebab baik agama maupun negara saling membutuhkan satu sama lain, sehingga agar nilai-nilai keagamaan dapat membumi maka negara harus hadir dan menjamin hal tersebut.

Dr. Abdul Ghofur Maemun menjelaskan bahwa pesantren memiliki peran sentral dalam mendorong manhaj ahlus sunnah wal jamaah yang berpendirian moderat. Hal ini dilakukan sebab Islam ketika datang ke Jawa tidak disebarkan melalui kekerasan, namun melalui jalur kebudayaan. Dengan persentuhan antara Islam dan kebudayaan, menjadikan Islam di Indonesia menjadi sangat berbeda wataknya dengan di negara lain. Di Indonesia, Islam dikenal tidak hanya sebagai agama, namun juga bagian dari budaya. Hal ini memberikan keuntungan tersendiri ketika berhadapan dengan kolonial, di mana Islam justru semakin kuat, di mana para kiai di Nusantara terkoneksi dengan jaringan ulama di Timur Tengah, salah satunya dengan Al Azhar di Mesir.

Dr. Abid Marzuki menjelaskan bagaimana kondisi saat ini terjadi peperangan dalam aqidah dan pola pikir, bagaimana konflik-konflik muncul sebagai akibat dari interpretasi yang saling bertubrukan, dan menjadi tanggungjawab lembaga pendidikan untuk mengamalkan Islam yang moderat sebagai bagian dari ikhtiar bersama menjaga persaudaraan. Hal yang sama disampaikan oleh Dr. Abdul Jabar Majid yang menjelaskan bagaimana para ulama terdahulu sudah membicarakan moderasi beragama, bagaimana paham radikalisme bermula dari kedangkalan ilmu. Menurutnya, sikap dan keberagamaan bergantung pada ilmu, dan perkembangan keilmuan itu sangat bergantung pada perkembangan individu, dengan demikian, tugas untuk belajar adalah kewajiban setiap orang, sehingga orang tidak merasa paling benar dan paling pintar.

Dalam kegiatan ini juga dilakukan penandatangan nota kesepahaman antara Perguruan Attaqwa, Sekolah Tinggi Agama Islam Attaqwa, dan Ma’had Aly Attaqwa KH. Noer Alie dengan Organisasi Internasional Alumni Al Azhar. Kerjasama ini mencakup pertukaran informasi, pengalaman, dan pengembangan program pendidikan di Perguruan Attaqwa. Dengan kerjasama ini diharapkan terdapat sinergi dan kerjasama yang saling menguntungkan antara Perguruan Attaqwa dan Organisasi Internasional Alumni Al Azhar. [KUN]

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *